Wednesday, March 01, 2006

Tazkirah Harian: Bahaya Jahil Ilmu Agama

Menuntut ilmu agama, khususnya ilmu tentang apa-apa yang jadi kewajiban sebagai hamba Allah adalah fardhu 'ain. Setiap orang harus mengetahui kewajiban-kewajibannya, maka menuntut ilmu tentang itu hukumnya adalah fardhu 'ain. Sebab, tanpa mengetahui ilmunya, maka tidak akan bisa melaksanakan kewajibannya dengan benar.

Fudhail bin 'Iyadh berkata: "Sesungguhnya amal yang dikerjakan dengan ikhlas tetapi tidak benar itu tidak akan diterima, begitu juga jika amal itu benar namun tidak ikhlas (juga tidak diterima). Ikhlas hendaklah amal itu hanya untuk Allah, dan benar hendaklah tegak berdasarkan sunnah.

Amal yang tidak sesuai dengan sunnah, baik itu karena penyelewengan maupun karena kebodohan, maka tidak diterima. Sebab Nabi saw bersabda: "Barangsiapa mengerjakan suatu amal yang tidak ada perintah kami atasnya, maka amalnya itu tertolak." (HR Muslim).

Orang yang beramal tanpa ilmu dan orang yang berilmu tetapi menyeleweng adalah dua golongan yang sangat merepotkan. Sulit diaturnya, dan menjadikan lelahnya orang yang mau meluruskannya. Sampai-sampai Ali bin Abi Thalib berkata: Patahlah punggungku gara-gara dua orang, yaitu orang berilmu yang menyeleweng dan orang bodoh yang rajin ibadah.

Pernyataan yang hampir sama dikemukakan oleh Ibnu Taimiyyah: "Kebodohan dan kedhaliman adalah pangkal dari segala keburukan."



Kebodohan itu saja sudah merupakan pangkal keburukan, apalagi justru kebanyakan manusia itu bodoh dalam hal agama. Maka benarlah firman Allah SWT yang mengecam manusia:

Janji Allah, yang Allah tidak akan menyelisihi janji-Nya. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti, mereka (hanya) mengetahui secara lahir (saja) dari kehidupan dunia, mereka lalai terhadap akherat." (QS Ar-Ruum: 6-7).

Imam Ibnu Katsir dalam menafsiri ayat yang ketujuh Surat Ar-Ruum ini mengatakan: "Maksudnya kebanyakan manusia seakan tidak punya ilmu kecuali ilmu dunia dengan segala ragamnya. Dalam masalah ini mereka cerdik cendekia (istilahnya piawai), tetapi mereka lalai (bodoh) terhadap perkara-perkara dien dan hal-hal yang bermanfa'at bagi mereka di akherat. Mereka dalam hal agama dan akherat ini bagai orang dungu yang tak punya nalar dan akal pikiran."

Jahilnya seseorang terhadap ilmu agama bisa menjerumuskan ke bid'ah bahkan kemusyrikan. Dalam hadits dijelaskan, ketika Adi bin Hatim menghadap Rasulullah saw, di lehernya tergantung salib dari perak, lalu Nabi saw membacakan ayat:

"Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahibnya sebagai tuhan selain Allah." (QS At-Taubah: 31).

Maka jawab Adi bin Hatim: "Sesungguhnya mereka tidak menyembahnya!"

Sabda Nabi saw: "Benar, tetapi sesungguhnya mereka (orang-orang alim dan rahib-rahib) mengharamkan yang halal, dan menghalalkan yang haram, lalu mereka mengikuti, itulah ibadah kepada mereka." (HR Al-Tirmidzi).

Dalam kisah itu, karena kebodohannya tentang agama, maka terjerumus kepada hal yang menyekutukan Allah.

Oleh karena itu, menuntut ilmu agama itu adalah meniti jalan ke surga, sebab menghindari dari jalan yang menuju kesesatan, baik itu bid'ah, khurofat, takhayyul, maupun sampai pada kemusyrikan/ menyekutukan Allah. Dan hal itu ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw:

"Barangsiapa yang menempuh satu jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga." (HR Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Lebih jelas lagi bahwa mengetahui atau memahami ilmu agama itu sangat penting untuk terhindar dari kesesatan, bid'ah, khurofat, takhayyul dan syirik adalah sabda Nabi saw:

"Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan maka Allah fahamkan dia dalam ilmu agama." (HR Al-Bukhari).

Kebaikan di situ berarti lawan dari keburukan. Sedang keburukan yang merusak agama di antaranya adalah kesesatan-kesesatan. Dan kesesatan itulah yang diberantas oleh ilmu dien, karena ilmu dien adalah warisan para nabi. Sehingga para pemilik ilmu dien, yaitu ulama adalah pewaris para nabi. Keutaman ulama itu dijelaskan oleh Nabi saw:

"Keutamaan seorang alim (berilmu agama) atas seorang 'abid (ahli ibadah) seperti keutamaan rembulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu (agama), maka barangsiapa mengambilnya (yaitu mengambil warisan ilmu agama) maka dia telah mengambil keuntungan yang banyak." (HR At-Tirmidzi).

Sampai-sampai Allah pun menjanjikan untuk mengangkat derajat orang iman yang berilmu dengan firman-Nya:
"Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." ( Al-Mujadilah: 11).

Sebaliknya, kalau manusia sudah mengangkat orang-orang jahil/ bodoh sebagai pemimpinnya, maka yang terjadi adalah sesat menyesatkan.

Nabi Muhammad saw menjelaskan:
"Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu dengan cara mencabutnya dari hamba-hamba, tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan mencabut (mewafatkan) para ulama, sehingga tidak ada lagi seorang alim pun. Maka manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Mereka itu lalu dimintai fatwa, maka mereka berfatwa dengan tanpa ilmu, maka mereka itu sesat dan menyesatkan." (HR Al-Bukhari 1/ 34).

Hal yang buruk pula akan menimpa umat ketika menjelang kiamat dalam kaitan dengan ilmu. Nabi saw menjelaskan:
"Sesungguhnya termasuk salah satu tanda akan datangnya hari kiamat adalah dicarinya ilmu dari orang-orang rendahan/ cere-cere." (lihat kitab Silisilah Hadits Shahih no 695).

Imam Malik berkata: "Ilmu itu tidak diambil dari empat golongan, tetapi diambil dari selainnya. Tidak diambil dari:
1. orang yang bodoh
2. orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya
3. orang yang mengajak bid'ah dan pendusta walaupun tidak sampai tertuduh sebagai mendustakan hadits-hadits Rasulullah saw
4. orang yang dihormati, orang shaleh, dan ahli ibadah yang mereka itu tidak memahami permasalahannya.

Orang alim (ulama) adalah cahaya bagi manusia lainnya. Dengan dirinyalah manusia dapat tertunjuki jalan hidupnya. Ada kisah dalam Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim, sebagaimana dimuat dalam Kitab Riyadhus Sholihin, bab taubat, ada seorang pembunuh yang membunuh 100 orang. Dia bunuh seorang rahib/ pendeta ahli ibadah sebagai korban yang ke-100 karena jawaban bodoh dari si ahli ibadah itu yang menjawab bahwa sudah tidak ada lagi pintu taubat bagi pembunuh 99 nyawa manusia.

Akhirnya setelah membunuh si ahli ibadah yang menjawab dengan bodoh itu, maka si pembunuh pergi ke seorang alim, dan di sana ia ditunjukkan jalan untuk bertaubat, yaitu agar pergi ke tempat yang di sana penghuninya menyembah Allah, maka ia agar ikut menyembahNya sebagaimana yang mereka lakukan, dan jangan sampai kembali ke desa semula karena di sana tempat orang jahat.

Di tengah jalan, ia mati, maka Malaikat Rahmat bertengkar dengan Malaikat Adzab. Lalu datang malaikat berujud manusia, menjadi hakam (juru damai), menyuruh agar diukur mana yang lebih dekat, kampung baik atau kampung jelek. Ternyata mayat ini lebih dekat sejengkal ke kampung baik yang dituju untuk bertaubat itu, maka dia dibawalah oleh malaikat Rahmat. Demikianlah. Dengan adanya orang alim yang memberi petunjuk tentang kebenaran, maka diapun mendapatkan penerangan bagi jalan hidupnya, hingga mendapatkan jalan untuk bertaubat.

Betapa jauh bedanya antara yang berilmu dan yang tidak. Antara yang menyesatkan dan yang menunjukkan kebenaran.

Sumber: Buku "Aliran dan Paham Sesat di Indonesia", Hartono Ahmad Jaiz, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, Februari 2002.

Manhaj Shahih dan Penyelewengan Aqidah

Tidak diragukan, Islam adalah agama yang haq dari Allah, dan sumbernya jelas
berupa wahyu yang tercantum dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Untuk mengetahui
bagaimana sebenarnya pemahaman Islam yang benar, maka perlu diketahui
kaidah-kaidah pokok tentang pengambilan sumber Islam dan cara menggunakan atau
mencari dalil yang benar.

Berikut ini penjelasan singkat tentang kaidah-kaidah pokok mengenai manhaj
pengambilan sumber aqidah Islam dan pengambilan dalil menurut Dr Nashir Abdul
Karim Al-Aql.

1. Sumber aqidah adalah Kitab Allah (Al-Qur'anul Karim), Sunnah Rasul-Nya saw
yang shahih, dan ijma' salafus shalih (kesepakatan generasi terdahulu yang
baik).

2. Setiap Sunnah Rasul saw yang shahih wajib diterima, walaupun sifatnya
hadits ahad (setiap jenjang, periwayatnya tidak mencapai jumlah mutawatir,
sekalipun 3 orang lebih. Kalau hadits mutawatir setiap jenjang diriwayatkan
oleh banyak orang).

3. Yang menjadi rujukan dalam memahami Al-Quran dan As-Sunnah adalah nash-nash
penjelas (teks ayat ataupun hadits yang menjelaskan maksud-maksud ayat atau
hadits). Rujukan lainnya adalah pemahaman salafus shalih, dan pemahaman
imam-imam yang berjalan di atas manhaj (jalan) salafus shalih. Dan apa yang
telah ditetapkan dari Al-Quran dan As-Sunnah tidak dipertentangkan dengan
pengertian (lain) yang semata-mata kemungkinan-kemungkianan dari segi bahasa.

4. Dasar-dasar agama semuanya telah dijelaskan oleh Nabi saw, maka tidak ada
hak bagi seorang pun untuk mengadakan sesuatu yang baru dengan anggapan bahwa
itu termasuk dalam agama.

5. Pasrah kepada Allah dan kepada Rasul-Nya saw (dalam hal penetapan Islam
ini) secara lahir maupun batin. Maka tidak ada hak untuk mempertentangkan satu
hal pun dari Al-Quran ataupun dari As-Sunnah yang shahih (baik
mempertentangkannya itu) dengan qiyas, ataupun dengan perasaan, kasyf (klaim
tersingkapnya hijab/ tabir hingga melihat yang batin/ ghaib), ucapan syaikh,
pendapat imam dan sebagainya.

6. Akal yang obyektif dan benar akan sesuai dengan naql (ayat ataupun hadits)
yang shahih. Keduanya tidak akan bertentangan selamanya. Dan ketika terjadi
kebimbangan yang bertentangan maka didahulukanlah naql (ayat ataupun hadits).

7. Wajib memegangi lafal-lafal syar'i dalam aqidah, dan menjauhi lafal-lafal
bid'ah (bikinan baru). Sedangkan lafal-lafal yang mujmal (garis besar/ global)
yang mengandung kemungkinan benar dan salah maka ditafsirkan dari makna
(lafal)nya, lantas hal yang keadaannya benar maka ditetapkanlah dengan lafal
kebenarannya yang syar'i, sedang hal yang batil maka ditolak.

8. Al-'Ishmah (keterpeliharaan dari kesalahan) itu tetap bagi Rasul saw,
sedang ummat ini terjaga tidak akan bersepakat atas kesesatan. Adapun orang
perorangnya maka tidak ada 'ishmah (keterpeliharaan dari kesalahan) bagi
seseorang pun dari ummat Islam ini. Sedang hal-hal yang ada perselisihan di
kalangan para imam dan lainnya maka tempat kembalinya adalah kepada Al-Quran
dan As-Sunnah; kemudian mujtahid ummat yang bersalah agar meminta ampun.

9. Di kalangan ummat ada muhaddatsun (orang-orang yang mendapatkan bisikan
ghaib), mulahhamun (orang-orang yang mendapatkan ilham), dan mimpi yang benar
itu adalah haq/ benar; dan itu adalah sebagian dari nubuwwah (kenabian), dan
firasat yang benar itu adalah haq/ benar. Ini semua adalah karomah (kemuliaan)
dan mubassyaroot (khabar-khabar gembira) --dengan syarat hal itu sesuai dengan
syara'-dan itu semua bukanlah merupakan sumber bagi aqidah dan bukan pula
sumber bagi syari'at.

10. Bertengkar dalam agama itu tercela, tetapi berbantahan (mujadalah) dengan
baik itu masyru'ah (disyari'atkan). Dalam hal yang jelas dilarang menceburkan
diri dalam pembicaraan panjang tentangnya, maka wajib mengikuti larangan itu.
Dan wajib mencegah diri dari menceburkan diri untuk berbicara mengenai hal
yang memang tidak ada ilmu bagi seorang muslim (misalanya tentang ruh yang
ditegaskan bahwa itu termasuk urusan Allah SWT) maka menyerahkan hal itu
kepada Allah SWT.

11. Wajib memegangi manhaj wahyu dalam menolak sesuatu, sebagaimana wajib pula
memegangi manhaj wahyu itu dalam mempercayai dan menetapkan sesuatu. Maka
tidak boleh menolak bid'ah dengan bid'ah, dan tidak boleh melawan tafrith
(kelengahan, gegabah/ sembrono, sekenanya saja) dengan ghuluw
(berlebih-lebihan, ekstrem), tidak pula sebaliknya, ghuluw dilawan dengan
tafrith, itu tidak boleh.

12. Setiap bikinan baru dalam agama itu bid'ah, dan setiap bid'ah tu sesat,
dan setiap kesesatan itu di neraka. [1]

Sumber dan penyebab menyimpangnya aqidah

Aqidah itu wajib dijaga kemurniannya, tidak boleh ada penyimpangan atau
penyelewengan. Karena, kalau aqidahnya menyimpang berarti keimanannya rusak,
akibatnya semua amal tidak diterima. Sebab syarat diterimanya amal itu adalah
iman, dalam arti iman yang benar, yang tidak menyimpang.

Sumber dan penyebab menyimpangnya aqidah perlu diketahui, di antaranya sebagai
berikut.

1. Akal yang tidak sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Juga kebodohan
terhadap aqidah shahihah. Contoh akal yang tak sesuai dengan Al-Quran dan
As-Sunnah adalah akal Iblis, yaitu dengan akalnya iblis menentang Allah SWT.

"Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di
waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis: "Saya lebih baik daripadanya: Engkau
ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah." (QS Al-A'raaf:
12).

Di samping itu, kebodohan terhadap aqidah yang benar mengakibatkan tidak bisa
membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Kebodohan itu disebabkan
beberapa faktor di antaranya karena tidak mau mempelajari, tidak diajari sejak
kecil hingga tua, bahkan di kalangan Muslimin belum tentu diajarkan aqidah
yang benar, karena enggan, karena kurang perhatian, dan ada pula karena
desakan yang dahsyat dari pengaruh aqidah-aqidah yang bathil. Maka para ulama,
ustadz, da'i dan para orang tua hendaknya memperhatikan ummat dan generasi
Muslim agar mereka mengenal aqidah yang benar, supaya tidak tersesat.

2. Mengikuti hawa nafsu. Allah SWT berfirman

"Dan janganlah kamu ikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari
mengingati Kami, dan menuruti hawa nafsunya, dan adalah keadaannya itu
melewati batas." (QS Al-Kahfi: 28).

Nabi Muhammad Saw bersabda: "Iyyaakum walghuluwwa fid diini fainnamaa halaka
man kaana qoblakum bilghuluwwi.

Artinya: "Jauhilah oleh kamu sekalian sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam
agama karena sesungguhnya rusaknya orang dulu sebelum kamu itu hanyalah karena
ghuluw. [2]

3. Karena menirukan penyelewengan tingkah laku pemeluk agama-agama
terdahulu. Nabi Saw bersabda:

"Latarkabunna sunana man kaana qoblakum syibron bi syibrin wadziroo'an bi
dziroo'in hattaa lau anna ahadahum dakhola juhro dhobbin ladakholtum wa hattaa
lau anna ahadahum jaama'am-ro'atahuu bit-thoriiqi lafa'altumuuhu.

Artinya:
"Pasti kamu sekalian benar-benar akan melakukan perbuatan-perbuatan orang yang
telah ada sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta,
sehingga seandainya salahsatu mereka masuk lobang biawak pasti kamu masuk
(pula), dan sampai-sampai seandainya salahsatu mereka menyetubuhi perempuannya
di jalan pasti kamu sekalian melakukannya (pula). [3]

Mengikuti kelakuan orang-orang dahulu (Ahli Kitab: Yahudi dan Nasrani) dalam
kasus yang dikemukakan Nabi Saw itu tentang keburukan. Sedang mengenai hal-hal
yang disyari'atkan untuk umat-umat terdahulu pun tidak boleh dilakukan,
kecuali kalau dibolehkan oleh Nabi SAW. Karena Nabi SAW bersabda:

"...Walloohi lau kaana Muusaa hayyan lamaa wasa'ahu illaa an yattabi'anii."
Artinya:

"...Demi Allah, seandainya Musa hidup (sekarang ini) pasti dia tidak ada
kelonggarannya kecuali dia harus mengikutiku." [4]

4. Adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, ta'asshub (fanatik suku,
golongan dsb), dan taklid buta (mengikuti tanpa tahu dalilnya).

"Dan apabila dikatakan kepada mereka, Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah, mereka menjawab: (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah
kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami." (Apakah mereka akan mengikuti
juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan
tidak mendapat peunjuk?" (QS Al-Baqarah: 170).

Setelah kita bicarakan sumber-sumber pokok pengambilan dan manhaj Islam,
demikian pula kita waspadai sumber-sumber penyelewengan aqidah Islam,
mudah-mudahan kita terbebas dari segala penyelewengan. Sehingga iman dan Islam
kita benar-benar lurus sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Mudah-mudahan. Amien.

Sumber:
.Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, Mujmal Ushul Ahl As-Sunnah wal Jama'ah
fil 'Aqidah, Darul Wathan, Riyadh, cet I, Syawwal 1411H

Mendudukkan Tasawuf, Darul Falah Jakarta, Ramadhan 1420H/ Desember 1999.
Dr Shaleh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Kitab Tauhid I, Darul Haq
Jakarta, cetakan I, Rajab 420H.

Dari Buku "Tasawuf, Pluralisme dan Pemurtadan"
Penulis: H. Hartono Ahmad Jaiz
Penerbit: Pustaka Al-Kautsar, Jakarta

[1] (Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, Mujmal Ushul Ahl As-Sunnah wal Jama'ah
fil 'Aqidah, Darul Wathan, Riyadh, cet I, Syawwal 1411H, hal 7-9).

[2] (HR Ahmad, An-Nasaa'i, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, dari Ibnu Abbas,
berderajat Shahih).

[3] (HR Al-Hakim dari Ibnu Abbas, berderajat shahih menurut As-Suyuthi dalam
Al-Jami' as-Shaghir).

[4] (Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya, dan Al-Baihaqi dalam Syu'bul
Iman, dan Ad-Darimi dengan lebih sempurna, berderajat Hasan, karena punya
banyak jalan menurut Al-Lalkai dan Al-Harawi dan lainnya)

No comments: